Friday, November 7, 2008

Sikap Ahlus-Sunnah Terhadap Kesalahan Ulama

Nasihat buat diri sendiri dan para penuntut ilmu. Jangan lebih lajak dari laju.


Oleh Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Dipetik dari almanhaj.or.id dengan sedikit editing.

Sepeninggal Rasulullah tidak ada seorangpun yang ma’sum (terbebas dari kesalahan). Begitu pula orang alim ; dia pun tidak akan lepas dari kesalahan. Seseorang yang terjatuh dalam kesalahan, janganlah kesalahannya itu digunakan untuk menjatuhkan dirinya. Dan tidak boleh kesalahannya itu menjadi sarana untuk membuka kejelekannya yang lain dan melakukan tahdzir [1] terhadapnya. Seharusnya kesalahannya yang sedikit itu dima’afkan dengan banyaknya kebenaran yang dia miliki. Apabila ada ulama yang telah meninggal ternyata salah pendapatnya, maka hendaknya kita tetap memanfaatkan ilmunya, tetapi jangan mengikuti pendapatnya yang salah, dan tetap mendo’akan serta mengharap kepada Allah agar mencurahkan rahmat kepadanya. Adapun bila orang yang pendapatnya salah itu masih hidup, apakah dia seorang ulama atau sekedar penuntut ilmu, maka kita ingatkan kesalahannya itu dengan lembut dengan harapan dia bisa mengetahui kesalahannya sehingga dia kembali kepada kebenaran.

Ulama yang telah wafat yang memiliki kesalah dalam masalah akidah adalah Al-Baihaqi, An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani. Meskipun demikian, ulama dan para penuntut ilmu tetap memanfaatkan ilmunya. Bahkan, karya-karyanya menjadi rujukan penting bagi orang-orang yang bergelut dalam bidang ilmu-ilmu agama.
Tentang Al-Baihaqi, Adz-Dzahabi memberi komentar dalam kitab As-Siyar (XVIII/163 dan seterusnya), Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah seorang penghafal hadits, sangat tinggi ilmunya, teguh pendirian, ahli hukum dan tuan guru umat Islam”.

Adz-Dzahabi menambahkan, “Beliau adalah orang diberkahi ilmunya, dan mempunyai karya-karya yang bermanfaat”. Ditambahkan pula, “Beliau pergi ke luar dari negerinya dalam rangka mengumpulkan hadits dan membuat karya tulis. Beliau mengarang kitab As-Sunan Al-Kubra dalam sepuluh jilid. Tidak ada orang yang menandingi beliau”.

Adz-Dzahabi juga menyebutkan bahwa Al-Baihaqi memiliki karya-karya tulisan lainnya yang sangat banyak. Kitabnya As-Sunan Al-Kubra telah dicetak dalam sepuluh jilid tebal. Dia menukil perkataan Al-Hafizh Abdul Ghafir bin Ismail tentang Al-Baihaqi. Katanya , “Karya-karya beliau hampir mencapai seribu juz (jilid). Suatu prestasi yang belum ada serorangpun yang menandingi. Beliau membuat metode penggabungan ilmu hadits dan fikih, penjelasan tentang sebab-sebab cacatnya sebuah hadits, serta cara menggabungkan antara hadits yang terlihat saling bertentangan”.

Imam Adz-Dzahabi juga berkata, “Karya-karya Al-Baihaqi sangat besar nilainya, sangat luas fedahnya. Amat sedikit orang yang mampu mempunyai karya tulis seperti beliau. Sudah selayaknya para ulama memperhatikan karya-karya beliau, terutama kitabnya yang berjudul As-Sunan Al-Kubra”.

Adapun tentang An-Nawawi, Adz-Dzahabi mengomentarinya dalam kitab Tadzkirah Al-Huffaz (IV/259). Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah seorang imam, penghafal hadits yang ulung, teladan bagi ummat, tuan guru umat Islam, dan penghulu para wali. Beliau memiliki karya-karya yang bermanfaat”.

Ditambahkan pula, “Beliau juga seorang yang bersungguh-sungguh dalam memegang teguh agamanya, sangat menjaga sifat wara’ dan sangat berhati-hati sampai pada perkara yang remeh sekalipun, selalu membersihkan jiwa dari noda dan kotoran. Beliau adalah seorang penghapal hadits dan ahli dalam segala cabang-cabang ilmu hadits ; ilmu tentang periwayatan hadits, ilmu untuk mengetahui hadits yang shahih dan yang dha’f ; begitu juga ilmu tentang cacat-cacat hadits. Beliau juga seorang tokoh terkemuka yang mengetahui madzhab (Syafi’i)”.

Ibnu Katsir mengatakan dalam Al-Bidayah Wa An-Nihayah(XVII/540), “Kemudian beliau memfokuskan perhatian kepada tulis menulis. Banyak karya tulis yang telah dibuat beliau. Karya-karya beliau ada yang sudah selesai dan utuh, namun ada pula yan belum. Karya-karya beliau yang sudah selesai dan utuh diantaranya : Syarah Musli, Ar-Raudah, Al-Minhaj, Riyadush Shalihin, Al-Adzkar, At-Tibyan, Tahrir At-Tanbih wa Tashhihih, Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat, Thabaqat Al-Fuqaha dan yang lain-lain. Adapun kitab-kitab beliau yang belum selesai penulisannya di antaranya adalah kitab Syarah Al-Muhadzdzab yang dinamakan Al-Majmu’. Kitab ini seandainya bisa beliau selesaikan niscaya menjadi kitab yang tiada bandingnya. Pembasahan kitab ini baru sampai pada bab riba. Beliau menulis kitab tersebut dengan sangat baik. Dibahasnya di kitab tersebut masalah fikih yang ada dalam madzhabnya maupun yang di luar madzhabnya. Beliau juga membahas hadits-hadits sebagaimana mestinya ; diterangkan di situ kata-kata yang sulit (asing), tinjauan-tinjauan bahasa, serta berbagai hal penting lainnya yang tidak ditemukan dalam kitab lainnya. Belum pernah saya menemukan pembahasan kitab fiqih sebagus kitab tersebut, sekalipun kitab tersebut masih perlu banyak penambahan dan penyempurnaan”.

Walaupun karya-karya beliau sangat banyak, namun umur beliau cukup muda. Beliau hidup hanya sampai umur empat puluh lima tahun. Beliau lahir pada tahun 631H dan wafat pada tahun 676H.

Adapun Ibnu Hajar Al-Asqalani, beliau adalah seorang imam yang masyhur dengan karya-karyanya yang banyak. Karya beliau yang terpenting adalah kitab Fathul Bari yang merupakan kitab syarah (penjelasan) dari kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab tersebut menjadi kitab rujukan yang penting bagi para ulama. Kitab-kitab beliau yang lain adalah Al-Ishabah, Tahdzib At Tahdzib, Taqrib At Tahdzib, Lisan Al Mizan, Ta’jil Al Manfa’ah, Bulughul Maram, dan lain-lain.

Sa’id bin Al-Musayyab (wafat 93H) berkata, “Seorang ulama, orang yang mulia, atau orang yang memiliki keutamaan tidak akan luput dari kesalahan. Akan tetapi, barangsiapa yang keutamaannya lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangannya itu akan tertutup oleh keutamaannya. Sebaliknya, orang yang kekurangannya mendominasi, maka keutamaannya pun akan tertutupi oleh kesalahannya itu”

Para salaf yang lain berkata, “Tidak ada seorangpun ulama yang terbebas dari kesalahan. Barangsiapa yang sedikit salahnya dan banyak benarnya maka dia adalah seorang ‘alim. Dan barangsiapa yang salahnya lebih banyak dari benarnya maka dia adalah orang yang jahil (bodoh)” [Lihat Jami’ Bayan Fadhli Al-Ilmi karya Ibnu Abdil Barr (II/48).

Abdullah bin Al Mubaraak (wafat 181H) berkata,”Apabila kebaikan seorang lebih menonjol daripada kejelekannya maka kejelekannya tidak perlu disebutkan. Sebaliknya, apabila kejelekan seseorang lebih menonjol daripada kebaikannya maka kebaikannya tidak perlu disebutkan” [Lihat kitab Siyar ‘Alam An Nubala karya Adz-Dzahabi VIII/352 cetakan pertama]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728H) berkata, “perlu diketahui bahwa kelompok-kelompok yang menisbatkan kepada figure-figur tertentu dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) dan juga kelompok ahli kalam, mereka terdiri dari beberapa tingkatan. Di antara mereka ada yang menyelisihi sunnah pada masalah yang sangat prinsipil dan ada juga yang menyelisihi sunnah pada persoalan samar (sulit diketahui benar tidaknya).

Bila ada dari mereka yang membantah kebatilan kelompok lainnya yang lebih menyimpang dari sunnah, maka kita puji bantahan mereka dan kebenaran yang mereka ucapkan. Akan tetapi, sayang, terkadang mereka melampui batas dalam menyampaikan bantahan tersebut. Terkadang dalam bantahan tersebut mereka menyalahi kebenaran dan mengatakan hal-hal yang batil. Terkadang mereka membantah bid’ah yang besar dengan bid’ah yang lebih ringan ; membantah kebatilan dengan kebatilan yang lebih ringan. Ini sering kita jumpai di kalangan ahli kalam yang menisbatkan diri mereka kepada Ahlussunnah wal Jama’ah.

Orang-orang seperti mereka itu, meskipun perbuatan bid’ahnya tidak membuat mereka keluar dari jama’ah kaum muslimin, tetapi karena bid’ah tersebut mereka jadikan dasar saling loyal dan saling memusuhi, maka tetap saja perkara tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan. Akan tetapi, Allah mengampuni orang-orang mu’min yang melakukan kesalahan seperti ini.

Banyak para Salaf dan para imam yang terjatuh pada kesalahan yang semacam itu. Mereka lontarkan perkataan-perkataan berdasarkan ijtihad mereka yang ternayat bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Akan tetapi, tindakan para Salaf tadi berbeda dengan orang-orang yang mau loyal terhadap orang-orang yang menyetujui pendapatnya, sementara memusuhi orang-orang yang menyelisihi pendapatnya, serta memecah belah jama’ah kaum muslimin, mengkafirkan dan memberi cap fasiq ; bahkan menghalalkan jiwa orang-orang yang menyelisihi mereka dalam perkara-perkara yang didasarkan pada pendapat dan ijtihad.Mereka ini adalah kelompok yang suka memecah belah dan senang bertengkar” [Lihat kitab Majmu ‘Al-Fatawa III/348-349]

Beliau berkata pada halaman lain (XIX/191-192) , “Banyak para ulama ahli ijtihad yang Salaf maupun khalaf, mereka mengatakan sebuah perkataan atau melakukan perbuatan yang termasuk kebid’ahan sementara mereka tidak mengetahui bahwa perkara tersebut adalah bid’ah. Hal itu dikarenakan beberapa sebab, di antaranya karena mereka menetapkan shahih sebuah hadits padahal dha’if, atau dikarenakan pemahaman yang salah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Ada kalanya hal itu juga dikarenakan mereka ijtihad dalam sebuah masalah, padahal dalil-dalil yang menjelaskannya,namun dall-dalil tersebut belum sampai kepada mereka. Apabila tindakan mereka itu masih dalam rangka melakukan ketakwaan kepada Allah semampu mereka, maka mereka termasuk dalam firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kamu tersalah” [Al-Baqarah : 286]

Dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Allah menjawab, “Sungguh, telah Aku lakukan”.

Adz-Dzahabi (wafat 748H) mengatakan, “Sesungguhnya seorang ulama besar, apabila kebenarannya lebih banyak, dan diketahui bahwa dirinya adalah pencari kebenaran, luas ilmunya, tampak kecerdasannya, dikenal kepribadiannya yang shalih, wara’ dan berusaha mengikuti sunnah maka kesalahannya dimaafkan. Kita tidak boleh mencap sesat, tidak boleh meninggalkannya, dan melupakan kebaikannya. Memang benar, kita tidak boleh mengikuti bid’ah dan kesalahannya. Kita do’akan semoga dia bertaubat dari perkara itu. [Lihat Siyar A’lam An-Nubala V/271]

Beliau menambahkan, “Kalau setiap kali seorang ulama (kaum muslimin) salah berijtihad dalam suatu permasalahan yang bisa dimaaflkan kita bid’ahkan dan kita jauhi, maka tidak ada seorang pun yang selamat, apakah itu Ibnu Nashr, Ibnu Mandah, atau orang yang lebih hebat dari keduanya sekalipun. Allah yang memberi petunjuk kebenaran kepada makhlukNya, dan Dia adalah dzat Yang Maha Penyayang. Kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan perangai yang kasar” [Lihat Siyar A’lam An-Nubala XIV/39-40]

Beliau juga berkata, “Kalau setiap orang-orang yang salah berijtihad kita tahdzir dan kita bid’ahkan, padahal kita mengetahui bahwa dia memiliki iman yang benar dan berusaha keras mengikuti kebenaran, maka amat sedikit ulama yang selamat dari tindakan kita. Semoga Allah merahmati semuanya dengan karunia dan kemuliaanNya” [Lihat Siyar A’lam An-Nubala XIV/376]

Beliau menambahkan, “Kami mencintai sunnah dan para pengikutnya. Kami mencintai ulama dikarenakan sikap mereka yang berusaha mengikuti sunnah dan juga sifat-sifat terpuji yang mereka miliki. Sebaliknya, kami membenci perkara-perkara bid’ah yang dilakukan ulama yang biasanya dihasilkan dari penakwilan-penakwilan. Sesungguhnya yang menjadi parameter adalah banyaknya kebaikan yang dimiliki” [Lihat Siyar A’lam An-Nubala XX/46]

Ibnul Qayyim (wafat 751H) berkata, “Mengenal keutamaan, kedudukan, hak-hak dan derajat para ulama Islam, dan mengetahui bahwa keutamaan mereka, ilmu mereka miliki, dan keikhlasan yang mereka lakukan semata-mata karena Allah dan Rasulullah, tidak mengharuskan kita menerima seluruh perkataan mereka. Begitu juga, apabila ada fatwa-fatwa mereka tentang permasalahan yang belum mereka ketahui dalil-dalinya, kemudian mereka berijtihad sesuai dengan ilmu yang mereka miliki, dan ternyata salah, maka hal itu tidak mengharuskan kita membuang seluruh perkataan mereka atau mengurangi rasa hormat kita, atau bahkan mencela mereka. Dua sikap diatas menyimpang dari sikap yang adil. Sikap yang adil adalah tengah-tengah di antara kedua sikap tersebut. Kita tidak boleh menganggap seseorang selalu dalam kesalahan dan juga tidak boleh menganggapnya sebagai orang yang maksum (terbebas dari kesalahan)”

Dia menambahkan, “Barangsiapa yang memiliki ilmu tentang syari’at dan kondisi riil masyarakat, maka dia akan mengetahui secara pasti bahwa seseorang yang terhormat serta memiliki perjuangan dan usaha-usaha yang baik untuk Islam, bahkan mungkin seorang yang disegani di tengah-tengah umat Islam, bisa saja melakukan kekeliruan dan kesalahan yang bisa ditolerir, yang malah mendapatkan pahala karena telah berijtihad. Akan tetapi, kesalahan yang dilakukannya tidak boleh kita ikuti, dan dia tidak boleh dijatuhkan kehormatan dan kedudukannya dari hati kaum muslimin” [Lihat kitab I’lam Al-Muwaqqi’in III/295]

Ibnu Rajab Al-Hambali (wafat 795H) berkata, “Allah Ta’ala enggan memberikan kemaksuman untuk kitab selain kitabNya. Orang yang adil adalah orang yang memaafkan kesalahan orang lain yang sedikit karena banyak kebenaran yang ada padanya” [Lihat kitab Al-Qawa’id hal.3]

[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir & Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

3 comments:

Dr. Al said...

Bismillahirrahmaanirrahiim
Assalaamualaikum

Kita sedar yang...

Ramai dikalangan ummat ini yang mengatakan sifulan-sifulan itu sesat, sedangkan mereka tak sedar yang pada hakikatnya merekalah yang sesat.

Kita sedar yang...

Ramai di kalangan ummat ini yang mengatakan sifulan-sifulan itu taksub, sedangkan mereka tak sedar yang pada hakikatnya merekalah yang taksub.

Kita sedar yang...

Ramai di kalangan ummat ini yang mengatakan sifulan-sifulan itu melakukan bid'ah, sedangkan mereka tak sedar yang pada hakikatnya mereka juga melakukan bid'ah.

Selama ini kita mengajar manusia supaya berdisiplin dalam mengambil berita. Kita juga mengajar mereka supaya menyelidiki sebelum menerima. Namun apa yang menyedihkan bila ada orang nasihatkan kita, kita melenting tak tentu hala. dikatakan pula pada mereka "pandai buat haywire"...

Semoga Allah memberi petunjuk kpd kita semua. Maaf kiranya ada yang terasa

"Evidence based Islam!"

Wallahu'alam
-al-

A|dmin said...

sy bersetuju dgn saudara Al..

contoh...

1)sy jd imam..abis je solat sy ajak makmuk berwirid ramai2..

bg makmum yg tak sefahaman dgn sy akan mengatakan sy sesat..sy telah melakukn bid'ah..sbb takde nas..

2)al jadi imam..abis je solat..al terus bangun tanpa berwirid..meninggalkn makmum..atau pn al duduk kat situ n berwirid sorg2..


bg makmum yg tak sefahaman dgn al mgkn akan meluat atau tak suka tindakan al tu..malah mgkn menuduh al sbg wahabi..

persoalan..apakah dua2 imam tersebut melakukan kesalahan??

mgkn imam 1 (saya) akan dituduh melakukn bid'ah
mgkn imam 2 (al) akan dituduh wahabi..

jadi kedua2 imam ni dianggap sesat oleh org2 yg tak sefahaman..

maka berimamkn la mereka dgn imam2 yg sesat..

nape tak berlapang dada je..wahai insan..

wallahua'alm


voltox..

sEmut SeMut said...

bila semakin membesar..kehidupan seharian dan apa yg berlaku di sekeliling kita mengajar kita erti hidup. sometimes, kita akan terus berfikir dan berfikir what is my life is all about..

mencari cari erti kewujudan diri. kesempurnaan..

curious?

seperti zaman kanak-kanak yg penuh rasa ghairah ingin tahu..ingin hidup dan maju..

seperti itulah kita.bila menjadi makmum atau pengikut, tidakkah kita hanya ingin ikut membabi buta? dan memandulkan daya fikir kita?

atau masih tetap di takuk lama, tanpa rasa ingin mencari dan meraih pada apa yg lebih mulia?

'di dalam memilih suatu pendirian, pun kita tidak perlu takut jika dibenci orang lain. sebab hal itu adalah berdasarkan pandangan kita dan penyelidikan kita. kita pun bersedia mengubahnya, kalau datang alasan yg kuat membantah pendirian kita. kalau kita telah berani menentukan pendirian, mengapa kita tidak akan berani mengubah pendirian itu? bukankah yg jadi pokok segala pendirian itu ialah perihal menuntut kebenaran?!' -prof.dr.hamka